KOLOM PSIKOLOGI

Kolom berbagi fakta, isu, maupun tren seputar dunia Psikologi.

[Kolom Anak] Membangun Fondasi Empati pada Anak

Maraknya kasus-kasus terkait bullying pada anak dan remaja nampaknya membuat orang tua dan pendidik merasa khawatir dengan perkembangan empati pada anak. Orang tua dan pendidik, terutama yang sangat peduli dengan isu terkait, berbondong-bondong untuk mencoba membantu anak supaya mampu mengembangkan sikap empati dan berharap dengan demikian anak akan mampu mengekspresikan kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar.

Empati merupakan kemampuan untuk membayangkan bagaimana kondisi atau perasaan yang sedang dialami seseorang, pada situasi tertentu, dan memberikan respon terhadap kondisi atau perasaan tersebut dengan penuh kepedulian. Empati mengajarkan anak untuk dapat memahami apa yang sedang dialami oleh orang lain, mengajak untuk mampu menempatkan posisi jika sedang mengalami hal yang sama, dan kemudian memberikan respon yang tepat pula.

Empati merupakan sebuah kemampuan yang harus terlatih, bukan seperti kecerdasan maupun bentuk fisik yang sifatnya lebih terberi. Anak yang mampu berempati, umumnya akan mampu memberikan performa akademik yang baik di sekolah serta memiliki kemampuan sosial yang juga baik. Bahkan, umumnya pula, anak-anak dan remaja yang memiliki kemampuan berempati yang sangat baik, cenderung dipilih untuk menjadi pemimpin di dalam hubungan pertemanan. Untuk dapat membantu anak mengembangkan kemampuan empati ini, maka guru utamanya adalah orang tua.

Banyak yang tidak menyadari bahwa pada dasarnya perkembangan empati mulai dapat terlihat ketika bayi baru lahir. Bayi yang menangis ketika sedang berada bersama bayi lainnya, akan membuat bayi lainnya ikut menangis pula. Memang, tangisan ini bukanlah penanda utama bahwa bayi yang ikut menangis tersebut berarti berempati terhadap bayi yang pertama menangis, karena bayi hanya mengeluarkan respon terhadap suara yang membuatnya merasa tidak nyaman.

Ketika anak beranjak menjadi balita, mereka mulai mampu menerjemahkan rasa tidak nyaman tersebut dengan berusaha membuat nyaman orang lain yang dianggapnya sedang mengalami situasi tertentu. Misalnya, ketika anak usia 1-3 tahun melihat Ibunya menangis, anak mungkin akan memeluk Ibunya atau memberikan mainan maupun makanan yang dianggapnya dapat membuat Ibu berhenti menangis. Memang kita tidak dapat menyimpulkan secara khusus bahwa anak usia 1-3 tahun sudah mampu memahami apa yang sedang dirasakan oleh Ibunya, karena secara sederhana, dalam hal ini anak melakukan sebuah usaha yang biasanya mereka dapatkan pula ketika orang lain berusaha menenangkan mereka ketika mereka menangis.

Ketika anak mulai berusia 4 tahun, di sinilah mereka mulai mampu mengaitkan emosi tertentu untuk berespon terhadap perasaan yang sedang dialami oleh orang lain. Misalnya, ada seorang teman yang terjatuh dan akhirnya menangis. Kemudian, anak memukul lantai yang dianggapnya telah membuat temannya terjatuh dan menangis. Inilah bentuk dari empati yang ditunjukkan oleh anak terhadap kondisi yang sedang dialami oleh orang lain.

Sejak usia anak 5 tahun, orang tua dapat mulai mengajak anak untuk belajar empati melalui studi kasus. Misalnya, dengan bertanya tentang apa yang akan dirasakan anak ketika mainannya diambil oleh orang lain, atau apa yang akan dirasakan jika ada yang memukul dirinya. Semakin besar, anak dapat langsung diberikan studi kasus yang lebih kompleks ketika diajarkan membangun empati. Misalnya:

  1. Mengajak anak untuk memahami bahwa dia dan orang lain bukan orang yang sama. Jadi, dia tidak boleh memaksakan kemauan terhadap orang lain.
  2. Mengajak anak untuk memahami bahwa orang lain memiliki pemikiran dan juga perasaan yang berbeda dibanding dirinya.
  3. Mengenalkan anak terhadap jenis emosi, seperti marah, bahagia, terkejut, kecewa, sedih, dan lainnya.

Orang tua memegang peranan penting karena anak belajar empati pertama kali juga melalui bagaimana mereka melihat orang tua berespon ketika dihadapkan pada situasi yang membuat marah, sedih, maupun kesal, serta ketika orang tua menghadapi anak yang sedang rewel atau merasa takut. Begitu pula ketika berespon terhadap situasi sosial tertentu. Respon- respon yang tepat inilah yang merupakan fondasi paling kuat yang dapat diajarkan orang tua terhadap anak pada saat mengajarkan empati. Anak yang melihat bahwa orang tuanya memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, cenderung meniru hal yang sama ketika anak berhubungan dengan temannya.

Kemampuan berempati juga didapatkan ketika anak merasakan hubungan yang kuat dan penuh kasih sayang dengan orang tua, terutama di masa 5 tahun pertama kehidupannya. Anak yang merasa bahwa dirinya diterima dan dimengerti oleh orang tua, akan lebih mudah untuk belajar bagaimana menerima dan memahami orang lain.

Salam

Kolom Psikologi Indonesia